Potensi Penyebaran Misinformasi dalam Pemilu 2024
Jakarta, 12 Juli 2023 – Menjelang Pemilu 2024, penyebaran misinformasi terkait isu politik diprediksi akan meningkat di tengah akses internet dan media sosial yang luas di Indonesia. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Google Indonesia merespons tantangan ini dengan meluncurkan Safer Internet Lab (SAIL) yang bertujuan untuk menangani misinformasi melalui penelitian dan pemetaan. SAIL berfokus pada dampak penyebaran misinformasi terhadap pengguna internet dan media sosial yang juga merupakan pemilih dalam Pemilu 2024. Sebagai rangkaian dari program tersebut, SAIL mengadakan seminar “Potensi Penyebaran Misinformasi dalam Pemilu 2024” untuk mendiskusikan kecenderungan penyebaran misinformasi, isu prioritas yang muncul, pengaruhnya terhadap perilaku publik dan kepercayaan pada lembaga negara, serta pola penyebaran dan mitigasi yang dapat dilakukan oleh partai dan kandidat untuk menghadapi Pemilu 2024.
SAIL menghadirkan narasumber dengan beragam latar belakang, yakni Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya, Nurul Arifin, Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, dan Wakil Kepala Desk Politik, Hukum, dan Keamanan Harian Kompas, Antonius Ponco Anggoro. Acara ini juga dihadiri oleh berbagai organisasi non-profit, lembaga penelitian, partai politik, mahasiswa, organisasi kepemudaan, pemerhati isu-isu politik dan kepemiluan, media massa, serta perwakilan dari tech platform.
Yose Rizal Damuri selaku Direktur Eksekutif CSIS membuka seminar dan menyatakan misinformasi bukanlah sesuatu hal yang baru. Namun, penyebaran misinformasi internet lebih cepat lagi daripada media cetak. Pada tahun 2016 kemarin, pemilihan umum di Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh berbagai misinformasi yang disebarkan secara sistematis dan sengaja. Kehadiran internet dan platform digital memberikan banyak manfaat dan juga tantangan. Oleh karena itu CSIS sudah melakukan berbagai program dan inisiatif terkait internet dan platform digital dari sisi ekonomi, bisnis, dan sosial dalam beberapa tahun terakhir. SAIL akan melihat lebih dalam terkait gangguan informasi, terutama guna menyambut Pemilihan Umum 2024. Perlu adanya inovasi yang dapat menyeimbangkan antara penanggulangan penyebaran misinformasi dan melindungi kebebasan berpendapat.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, menyatakan bahwa saat ini SAIL tengah melakukan tiga studi paralel mengenai aktor-aktor disinformasi, perilaku pengguna media sosial sekaligus pemilih dalam pemilu, dan tata kelola platform media sosial dan moderasi konten. Salah satu faktor keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam membendung misinformasi terkait Covid-19 adalah karena tingginya kepercayaan publik terhadap transparansi pemerintah pusat dan daerah dalam menangani Covid-19. Arya Fernandes merekomendasikan bahwa harus ada (1) penguatan kepercayaan publik pada proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu dari transparansi proses dan tahapan pemilu, data pemilu yang dapat diketahui secara realtime; (2) memastikan transparansi dan electoral integrity; (3) respons aktif penyelenggara pemilu terhadap gangguan informasi melalui kolaborasi dengan platform medsos untuk mengembangkan sistem pemantauan dan memperkuat regulasi kampanye daring; (4) alokasi sumber daya yang cukup di penyelenggara pemilu untuk memantau dan menegakkan aturan terkait kampanye politik daring; (5) mengedepankan kerjasama multipihak untuk kampanye prebunking kepada pemilih melalui berbagai medium dan disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap golongan pemilih; dan (6) komitmen yang setaradi antara tech platform untuk membendung gangguan informasi.
Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema menyoroti bagaimana kategori hoaks terbesar di Indonesia Adalah kategori politik (data Kominfo per September 2019). Pemilu Serentak 2019 menaikkan angka penyebaran hoaks pada bulan April 2019. Beberapa tantangan yang mungkin muncul dalam Pemilu 2024 adalah penyebaran misinformasi dengan menggunakan politik identitas, hoaks, serta post-truth. Ruang publik semestinya diisi dengan informasi yang benar berdasarkan logika, etika, dan estetika. Di sisi lain, kontestan pemilu juga perlu membangun ekosistem politik yang sehat. Kontestasi politik haruslah berisikan rekam jejak, kapasitas, dan integritas dari kontestan pemilu itu sendiri. Sebagai anggota PDI-Perjuangan, Ansy Lema menyebutkan bahwa PDI-Perjuangan mendorong adanya edukasi dan literasi politik.
Nurul Arifin menyoroti tentang bagaimana media sosial dan platform digital yang berhubungan dengan politik adalah ruang gelap atau ruang kotor. Tantangan yang harus dihadapi menjelang Pemilu 2024 adalah skala penyebaran misinformasi yang masif karena masing-masing partai politik mempunyai tim atau buzzer yang secara profesional dapat berperang di media sosial. Nurul Arifin menyarankan untuk menanggulangi penyebaran misinformasi perlu adanya literasi media dan informasi untuk publik, pembentukan tim dan lembaga pengawas independen untuk mengidentifikasi, mengawasi, dan memantau penyebaran gangguan informasi dan melacak sumbernya, partisipasi aktif dari platform dan tech companies untuk memperkuat kebijakan dan algoritma, kemitraan antar lembaga penelitian untuk melakukan riset dan pemetaan terkait penyebaran gangguan informasi, serta kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam melawan penyebaran gangguan informasi.
Burhanuddin Muhtadi menyoroti dampak fake news terhadap pemilu. Terdapat dua isu besar pada misinformasi yang beredar dalam pelaksanaan pemilu; politik dan agama. Pengguna media sosial cenderung mencari pendapat atau opini yang dapat memperkuat pendapatnya sendiri, sehingga menyebabkan munculnya bias informasi. Perlu dicatat bahwa propaganda yang terjadi ataupun beredar tidak selalu salah. Propaganda juga dapat dibarengi dengan informasi yang benar atau half-truth. Maka dari itu, fact-checking harus lebih diintensifkan bukan hanya dari pemerintah, tapi juga dari masyarakat sipil.
Antonius Ponco Anggoro menyatakan bahwa media massa memiliki tantangan yang besar karena harus memilah informasi yang betul-betul akurat dan berpotensi untuk memunculkan gangguan informasi. Kompas melihat adanya potensi penyebaran misinformasi yang sama dalam Pemilu 2024 dengan pemilu yang sebelumnya. Data dari Kompas menunjukkan bahwa 72,6% responden pengguna internet mendapatkan misinformasi dari media sosial dan 52,2% responden tidak mengecek informasi tersebut. Media massa, termasuk Kompas terus beradaptasi dan belajar untuk melawan gangguan informasi. Upaya yang dapat dilakukan media adalah merebut kepercayaan publik di tengah masyarakat yang cenderung lebih percaya pada media sosial. Peningkatan kualitas media sosial sangat krusial. Saat ini, Kompas memiliki satu divisi media sosial yang berfungsi untuk memantau media sosial dan melihat kebenaran suatu informasi.
Penyebaran misinformasi menyambut Pemilu 2024 diperkirakan meningkat. Peran penyelenggara pemilu, kontestan pemilu termasuk partai politik, media massa, organisasi masyarakat sipil, lembaga penelitian, dan masyarakat sebagai pemilih nanti sangat krusial. Kerjasama antar institusi merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk mencegah laju penyebaran misinformasi di media sosial. Selain itu, diperlukan adanya keberanian dan aksi nyata dari berbagai pihak untuk bersama-sama melawan penyebaran misinformasi.