Belajar dari Dunia Menghadapi Disinformasi Pemilu 2024
Menjelang Pemilu 2024, Indonesia tampaknya masih belum siap menghadapi gelombang disinformasi di media sosial. Padahal, tahapan kampanye sudah di depan mata.
Dari segi regulasi saja, Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu yang ada dirasa belum harmonis dan selaras dalam mengatur kampanye di medsos, misalnya terkait pengaturan akun medsos peserta pemilu. Sanksi terhadap pelanggaran aturan belum memberikan efek jera.
Agenda revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tengah berjalan di DPR pun dirasa kurang melibatkan masyarakat sipil dan platform medsos karena diskusinya berjalan secara tertutup. Belum lagi peraturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 yang juga menuai kritik karena berpotensi mengatur konten medsos secara berlebihan dan melanggar kebebasan berekspresi.
Pelajaran dari negara lain
Dengan masih belum matangnya tata kelola medsos untuk melawan disinformasi, tak ada salahnya bagi Indonesia mengambil pelajaran dari negara lain untuk kemudian disesuaikan dengan konteks lokal.
Setidaknya terdapat lima poin perbandingan untuk dipertimbangkan. Pertama, cakupan peraturan. Sebagai contoh, UU Media Sosial di Jerman (NetzDG) secara terfokus mengatur ujaran kebencian dan disinformasi. Peraturan yang terfokus tentu memudahkan pengawasan. Namun, NetzDG bertumpu pada hukum pidana Jerman yang belum sepenuhnya mengatur taktik-taktik disinformasi baru seperti penargetan mikro atau propaganda komputasi.
Sebaliknya, UU Layanan Digital di Uni Eropa (DSA) mengatur beragam jenis konten berbahaya dan terlarang secara lebih luas. DSA menerapkan kewajiban moderasi konten bagi platform medsos secara proporsional berdasarkan skala dan dampaknya, dan menyeimbangkannya dengan hak berekspresi pengguna. Namun, serupa dengan regulasi di Indonesia, DSA tidak memiliki aturan spesifik untuk mencegah penghapusan konten secara berlebihan.
Dalam upaya merapikan tata kelola medsos, Indonesia perlu memastikan bahwa cakupan peraturan tak terlalu sempit atau luas. Alih-alih berfokus kepada jenis kontennya, kita dapat berorientasi kepada dampak negatif yang ditimbulkan.
Misalnya, peraturan yang secara khusus didesain untuk menanggulangi manipulasi pemilu. Adapun isu-isu yang lebih luas terkait konten negatif, ilegal, dan berbahaya dapat diturunkan ke dalam standar komunitas platform media sosial.
Kedua, tanggung jawab yang dibebankan kepada platform medsos. Setiap negara punya pandangan yang berbeda mengenai peran medsos sebagai ”perantara” antara produsen informasi dan warga negara dalam demokrasi digital.
Contohnya, NetzDG milik Jerman dan ”Hukum Avia” milik Perancis menuntut platform medsos untuk menurunkan konten ilegal sesegera mungkin. Hal ini bisa memberikan beban berlebih pada platform dan berdampak terhadap kepatuhan peraturan. RUU No 2630/20 (RUU Berita Palsu) milik Brasil tidak mewajibkan penurunan konten, tetapi meminta platform untuk memberikan laporan transparansi mendetail.
Aturan TI 2021 di India mengizinkan penghapusan konten yang berpotensi melanggar privasi secara otomatis.
Berkaca dari hal tersebut, agenda revisi UU ITE pun perlu melibatkan partisipasi publik yang lebih luas, terbuka, dan terstruktur.
Belajar dari negara-negara tersebut, Indonesia perlu menyeimbangkan antara tanggung jawab platform media sosial dan kebebasan berekspresi. Salah satu caranya dengan pendekatan konsultatif ala Uni Eropa dengan semua pemangku kepentingan.
Hal ini berkaitan dengan poin perbandingan ketiga, yakni apakah masyarakat dan pemangku kepentingan lain dilibatkan dalam perancangan regulasi. DSA milik Uni Eropa (UE) dan RUU Berita Palsu Brasil dinilai telah cukup berkonsultasi dengan pihak nonpemerintah. Sementara penyusunan NetzDG di Jerman dan UU Perlindungan terhadap Kebohongan dan Manipulasi Daring (POFMA) di Singapura dirasa kurang melibatkan publik.
Berkaca dari hal tersebut, agenda revisi UU ITE pun perlu melibatkan partisipasi publik yang lebih luas, terbuka, dan terstruktur. Melibatkan publik, masyarakat sipil, dan perusahaan teknologi dalam pembuatan ataupun revisi regulasi dapat meningkatkan dukungan terhadap peraturan dan juga menangani potensi gesekan dan resistansi saat implementasi kebijakan sejak dini.
Keempat, regulasi-regulasi yang telah dicontohkan rata-rata bersifat nasional (atau regional di UE). Namun, internet dan medsos adalah fenomena global. Maka, tak mengherankan jika yurisdiksi peraturan-peraturan ini terbatas. DSA di UE memang beritikad untuk memperluas cakupan regulasi ke tingkat kawasan, tetapi tetap saja kesulitan mengatur platform daring yang beroperasi lintas batas.
Menyadari tabiat internet yang global, kita perlu mempertimbangkan seberapa jauh peraturan mengenai media sosial dapat ditegakkan.
Lebih lagi, platform-platform besar dan multinasional cenderung memiliki sumber daya, proses kepatuhan (compliance process), dan pengawasan publik yang lebih besar dibandingkan perusahaan lokal atau rintisan sehingga kepatuhan setiap platform pun dapat beragam.
Protes publik terhadap registrasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) pada 2022 semestinya mengajarkan kita bahwa insentif dan kerja sama multipihak akan lebih mengena dibandingkan sanksi dan hukuman.
Kelima, ketentuan mengenai transparansi dan banding yang juga berbeda-beda di tiap negara. RUU Berita Palsu Brasil dinilai telah memastikan proses hukum yang adil (due process) dalam penurunan konten. Sama halnya dengan DSA Uni Eropa yang berfokus pada transparansi moderasi konten. Sementara POFMA Singapura justru memberikan wewenang untuk memerintahkan penghapusan konten tanpa ketentuan transparansi.
Dalam penyusunan peraturan kampanye daring oleh lembaga terkait, ketentuan transparansi dan mekanisme pengaduan patut diperhatikan.
Pengguna media sosial, yang sebagian besar juga merupakan pemilih dalam pemilu, harus memiliki akses untuk pengajuan banding atas keputusan penghapusan konten milik mereka di media sosial. Akuntabilitas juga dapat ditingkatkan dengan cara mewajibkan laporan transparansi reguler dari platform media sosial.
Negara yang memonopoli peraturan berisiko memanfaatkan legitimasi regulasi untuk tindakan yang justru meredam praktik demokrasi.
Menjaga iklim demokrasi di ruang digital
Pada akhirnya, dalam menghadapi disinformasi pemilu, negara-negara di dunia diperhadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama, negara bisa membentuk tata kelola yang dapat menangani konten negatif sekaligus melindungi kebebasan berekspresi. Pilihan kedua, negara dapat menyalahgunakan regulasinya untuk penyensoran dan pengawasan berlebih.
Demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia, pilihan pertama tentu lebih diutamakan. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tampaknya salah satu faktor penentunya adalah seberapa jauh masyarakat dan pihak-pihak nonpemerintah dilibatkan dalam penyusunan dan pelaksanaan regulasi. Negara yang memonopoli peraturan berisiko memanfaatkan legitimasi regulasi untuk tindakan yang justru meredam praktik demokrasi.
Sebaliknya, dialog dan konsultasi yang terus-menerus antara pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, masyarakat sipil, akademisi, dan perusahaan teknologi diperlukan agar dapat mengidentifikasi masalah dan tantangan yang mungkin terlewatkan jika hanya melibatkan satu pihak.
Upaya-upaya proaktif seperti Safer Internet Lab (Sail) dari CSIS dan Google Indonesia dapat menjembatani pemerintah, perusahaan, pakar, dan praktisi untuk menciptakan pemahaman bersama dalam penanganan disinformasi.