Pemilu dan Evolusi Disinformasi: Kebutuhan Respons yang Representatif
PENGALAMAN pemilu mengajarkan kepada kita tentang pemanfaatan gangguan informasi sebagai peluru tak terkendali. Menyebar bagai penyakit dalam tiga bentuk yang berbeda: misinformasi, disinformasi, dan malainformasi. Kesemuanya menghadirkan ancaman, sering kali tereskalasi dan menyelusup menjadi diskursus nasional.
Pemilu yang akan datang pun begitu. Peperangan udara antara pendukung pasangan calon bahkan sudah terjadi jauh sebelum masa kampanye yang ditetapkan pada 28 November 2023 oleh KPU. Menjadi semakin dinamis pula karena cara penyebaran gangguan informasi telah berubah. Menyebabkan disinformasi kian mudah diproses oleh para konsumennya: pengguna media sosial.
Cara baru penyebaran gangguan informasi itu mewujud dalam bentuk potongan-potongan video pendek, yang dibubuhi dengan sebuah narasi yang mudah untuk diproses. Tujuannya, tentulah agar narasi yang dibangun sedemikian rupa itu berhasil dianggap sebagai satu kebenaran, atau setidaknya mengganggu kepercayaan orang yang melihatnya. Ini ialah sebuah kebaruan penyampaian pesan terarah di ranah elektoral.
Sejumlah fakta
Perkaranya lantas tidak hanya ada di urusan kemampuan potongan video pendek dalam menyampaikan pesan utama secara gamblang, tetapi juga bagaimana narasi yang dibangun mampu menyasar kelompok demografi pemilih yang tepat.
Meminjam ide Mark Coeckelbergh tentang sisi politis dari artificial intelligence (AI) bahwa sisi politis dari informasi di media sosial, seperti AI, tidak hanya melemahkan dan menguatkan seorang manusia secara simultan. Interaksi kita kepadanya justru juga memberikan kekuatan pada informasi itu sendiri.
Hal yang sama juga berlaku pada gangguan informasi. Konsumsi kita terhadapnya justru akan menguatkan disinformasi itu sendiri. Itulah yang membuat penyebaran gangguan informasi serta pergeserannya dalam bentuk baru menjadi suatu hal yang niscaya. Platform seperti Tiktok yang pada 2019 tidak signifikan, telah menjadi salah satu andalan dalam menyebarkan disinformasi. Tidak untuk mendiskreditkan aplikasi itu secara khusus. Namun, riset yang dilakukan di Spanyol, Portugal, Brasil, dan Amerika Serikat 2021 oleh Alonso-Lopez, Sidorenko-Bautista, dan Giacomelli memperlihatkan bagaimana gangguan informasi di platform itu menjadi lebih mudah untuk menyebar karena formatnya yang berupa potongan video pendek. Hal yang juga ditemui di Indonesia melalui akun-akun proxy kandidat Pemilu 2024.
Di sisi lain, hasil survei terbaru koalisi riset Safer Internet Lab (SAIL) juga memperlihatkan sebanyak 67,5% pengguna Tiktok memercayai gangguan informasi. Hanya kalah dari Twitter (76,4%), Telegram (71,2%), dan Instagram (68,4%) yang memang sudah digunakan sedari pemilu sebelumnya pada 2019. Titik ini lantas mempertemukan produsen gangguan informasi dengan konsumen potensial yang memang memiliki kerentanan terhadapnya.
Bergesernya cara baru menyebarkan informasi juga menjadi lebih mudah, lantaran proses pengadopsiannya tak banyak menghadapi tantangan. Berbeda dengan fase pengadopsian teknologi, yang pada umumnya dibarengi dengan tahap pengaplikasian yang kompleks. Hal tersebut sering berakhir pada sulitnya para pengguna untuk mengadopsi dan beradaptasi pada kebaruan itu. Dalam science and technology studies (STS), fenomena itu dikenal sebagai entrenchment of technology: sebuah proses pengadopsian teknologi baru yang diikuti dengan risiko dan ketidakpastian yang tinggi.
Bedanya, risiko yang ada pada model baru penyebaran gangguan informasi justru menjadi objektif yang ingin diraih oleh aktor yang memproduksi gangguan informasi. Cara baru ini lantas melengkapi praktik penyebaran gangguan informasi yang sudah mapan melalui format teks serta gambar.
Terlebih, angka pengguna aplikasi Tiktok pada 2023 mencapai 113 juta. Naik 23% dari tahun lalu. Instagram, melalui fitur reels-nya, juga menjadi platform lain yang mampu menjalankan fungsi yang sama, dengan jumlah pengguna di Indonesia yang mencapai angka 106 juta pada April lalu. Akhirnya, mengapitalisasi video pendek sebagai medium kampanye menjadi rasional. Anggapan bahwa video pendek ialah alternatif dalam mencari informasi juga semakin melekat pada praktik bermedia sosial.
Preseden yang memperlihatkan keampuhan model penyebaran potongan narasi pendek pun sudah ada. Kampanye disinformasi yang terstruktur, utamanya melalui video, menjadi alat andal bagi Bombong Marcos dalam memenangi pemilihan umum di Filipina dengan menarasikan ulang kepemimpinan ayahnya, Ferdinand Marcos Sr.
Durasi video yang singkat, narasi yang mudah dicerna, serta perilaku konsumsi pengguna media sosial mendukung efektifnya strategi ini. Seperti gayung bersambut, produksi gangguan informasi bertemu dengan fakta bahwa dalam 1 menit, terdapat 167 juta video pendek Tiktok yang disaksikan para penggunanya.
Menumbuhkan ketahanan
Poin penting Das Slow Media Manifest lebih dari satu dekade yang lalu rasa-rasanya masih menjadi relevan: bahwa dibutuhkan sebuah respons yang tepat terhadap perkembangan teknologi. Itu mencakup juga penyebaran informasi melalui saluran-saluran dan format baru di media sosial.
Salah satu respons yang diperlukan ialah mempromosikan posisi kita sebagai prosumer, yaitu kelompok yang memiliki kesadaran terhadap pola konsumsi informasi di media sosial. Dalam STS, kelompok itu disebut relevant group yang memiliki pengaruh pada bagaimana sebuah teknologi dikembangkan ke depannya. Dengan kata lain, relevant group menolak menjadi kelompok pasif yang percaya bahwa perkembangan teknologi akan berjalan dengan sendirinya.
Dalam merespons kebaruan ini, penting bagi kita untuk memahami kelindan teknologi dan informasi sebagai bagian dari kekuasaan dan struktur sosial. Hal itu berarti bahwa informasi, yang dapat ditransformasikan menjadi disinformasi, akan berperan ketika dirangsang oleh kepentingan pembuat informasi tersebut.
Di konteks kepemiluan, disinformasi lantas memiliki potensi untuk diberdayakan sebagai senjata rasional untuk mendapatkan insentif positif berupa suara pada kandidat yang didukung. Di sisi lain, koin yang sama, gangguan informasi ini juga bisa menjadi perusak yang menciptakan distorsi informasi kepada lawan.
Dari situ, satu kesadaran muncul bahwa informasi bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dikonstruksi, dirawat, atau bahkan dirusak. Ide perkembangan teknologi yang bebas nilai harus kita pertanyakan. Begitu juga dengan ide yang memosisikan masyarakat sebagai kelompok pasif penerima informasi semata. Konstruksi sosial pastilah juga memengaruhi bagaimana teknologi itu berkembang dan digunakan.
Hal itu kemudian menjadi landasan argumen informasi sebagai sebuah kekuasaan. Informasi mampu memengaruhi bagaimana kita bergerak, bertindak, dan merasa. Memandu orang yang mengonsumsinya dalam mengambil atau tidak mengambil sebuah keputusan. Syahdan, ekosistem pemilu yang mendamba kursi kekuasaan memengaruhi bagaimana gangguan informasi dibangun dan dimanfaatkan.
Sebagai bidang interdisipliner, STS tidak mengusulkan solusi praktis pada fenomena penyebaran gangguan informasi. Namun, STS menawarkan kerangka pikir serta perspektif dalam melihat teknologi, bagaimana ia digunakan, serta relasinya dengan manusia.
Untuk itu, beberapa poin penting disediakan untuk menangkap relasi kompleks antara gangguan informasi dalam bentuk potongan video pendek dan pengguna media sosial.
Pertama, bahwa informasi dimediasi oleh teknologi. Artinya, ada peran platform dalam mengumpul-simpan-bagikan informasi melalui mekanisme filtrasi, distorsi, dan amplifikasi informasi. Kondisi ini akan membentuk ekosistem informasi di sekitar pengguna media sosial dari pilihan-pilihan yang diambil dalam mengonsumsi informasi. Pemahaman ini bisa membawa kita untuk berbuat lebih lanjut: melakukan pengecekan kebenaran informasi.
Kedua, bahwa ruang media sosial menjadi arena distribusi gangguan informasi yang paling andal. Disebabkan oleh absennya proses verifikasi, dan pengendalian kualitas informasi layaknya kebijakan editorial yang ditemui di produk jurnalistik seperti berita. Narasi sesat, penghilangan konteks, dan pengutipan selektif ialah pola yang umumnya ditemukan pada gangguan informasi berbasiskan video pendek. Pola-pola itu harus mulai dipahami dan dideteksi.
Ketiga, kemunculan gangguan informasi merefleksikan kondisi sosial politik terkini. Mengartikan bahwa satu fenomena sosial politik, seperti pemilu, sangat mungkin menjadi mula dari segala macam gangguan informasi yang kita temui di media sosial. Kadang kala, hal itu juga bekerja sebaliknya, ketika disinformasi justru berhasil menjadi pengaruh dari fenomena sosial politik yang muncul ke permukaan. Kenyataan itu memperlihatkan relasi saling memengaruhi antara keduanya yang memang kompleks.
Keempat, menjaga sifat skeptis terhadap setiap informasi. Meminjam pernyataan Dirjen Aptika Semuel Abrijani di acara rilis survei SAIL lalu, “Jangan percaya apa pun dari internet sampai sumbernya bisa dipercaya.” Wawas diri akhirnya menjadi alat penting yang bisa membantu kita dalam menentukan apakah sebuah informasi patut diterima dan dipercaya setelah sumbernya bisa terdeteksi.
Poin-poin yang disampaikan di atas menawarkan cara pandang yang berharga dalam melihat kompleksitas hubungan disinformasi, teknologi, serta masyarakat. Sesuai dengan poin Das Slow Media Manifest bahwa respons yang tepat diperlukan, perspektif di atas lantas dapat dimanfaatkan sebagai rujukan dalam menciptakan langkah-langkah demi mencapai respons yang tepat itu.
Atau mungkin juga kita harus kembali lagi ke pertanyaan-pertanyaan penting soal relasi manusia dengan informasi dan teknologi: Sejauh mana seharusnya seorang konsumen informasi memahami relasi yang kompleks ini?
Bagaimana sepatutnya pengguna media sosial mengatur pola konsumsi informasi sebagai sarana dalam membantu mengambil keputusan? Serta signifikansi apa yang bisa dimainkan prosumer dalam menjaga integritas informasi dari penyalahgunaan penggunaannya?